yang menganggu pikiranku akhir-akhir ini

indra
3 min readNov 30, 2022

--

Dunia ini tampaknya memang tidak cukup cocok untuk orang sepertiku, yang membuat diriku merasa terasingkan bahkan dengan hal yang aku anggap aku miliki sepenuhnya, yaitu tubuhku. Aku berpikir bagaimana mungkin sebagian besar dari beberapa milyar orang diluar sana bisa untuk menikmati hidupnya yang bahkan tidak mereka miliki, terutama orang-orang yang tinggal di daerah metropolitan, maksudku, bagaimana bisa mereka merasa hidup di pusat peradaban bernama Kota, yang tidak sungkan untuk merebut seluruh hidup mereka siang dan malam bahkan tanpa seizin kita.

Ya, mungkin tiap orang punya persepsinya sendiri tentang Kota, tetapi bagiku Kota adalah semacam penyakit seperti Kanker yang jika salah satu saja sel tubuh kita terjangkit dan habis dimakannya dia akan mencari sel tubuh lain untuk direbut untuk dijadikan Kota–Kota baru. Di Kota, persaingan adalah sebuah hal wajar mau itu dilakukan secara fair ataupun dengan bumbu-bumbu kecurangan, kita bahkan dibiasakan untuk saling menipu hanya agar bisa terus hidup, tentu saja aku bukan moralis yang ingin melakukan stempel dosa untuk kebiasaan tersebut karena pada realitanya orang-orang di Kota harus melakukannya untuk sekedar bisa hidup.

Suatu waktu aku pernah pergi ke Jakarta, disana aku melihat keadaan lebih mengerikan lagi daripada kota tempat tinggalku, setidaknya itu yang aku rasa ketika melihat deretan-deretan gedung saling berlomba untuk lebih tinggi satu sama lain sedangkan di sekitaran gedung banyak sekali kampung-kampung kumuh yang seakan menunggu waktu untuk disingkirkan dan digantikan gedung tinggi lainnya.

“Ayo pergi ke Kota, Tuhan hanya bagi-bagi rezeki disana"

Sebuah kutipan yang tidak sengaja aku lihat sekelebat ketika sedang berselancar di internet, kutipan yang lumayan menggangguku sampai sekarang karena memikirkan apa maksudnya dan aku pikir aku tahu, Kota seakan menjadi magnet untuk siapapun yang terhipnotis oleh tampilannya dan seolah-olah berpikir kalau itu adalah campur tangan Tuhan yang membagikan rezeki berlebih disana dan secara sadar ataupun tidak mereka menyerahkan hidup dan mati disitu.

Beberapa kali ketika sedang berjalan-jalan pagi aku biasa melewati sebuah daerah dimana di daerah tersebut para tukang becak, pengemis, pemulung ataupun gelandangan yang mungkin saja datang dari desa atau pinggiran kota berbondong-bondong menuju ke pusat kota untuk menyerahkan hidup dan matinya kepada kota yang mereka harapkan datang membawakan mereka kehidupan yang lebih baik, anehnya banyak tukang becak disana tinggal tanpa rumah tinggal tidur di dalam becaknya bersumpalan dengan istri–istri mereka demi untuk membunuh dingin di samping jajaran rumah–rumah elit dengan bangunan–bangunan megah dengan pagar yang tingginya hampir 10 meter dan mungkin hanya ditinggali tidak sampai 10 orang di dalamnya. Mungkin bagi beberapa orang itu hal lumrah tapi bagiku itu sungguh pemandangan yang luar biasa soal dualisme antara si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah atau bahkan pemenang dan pecundang.

Kota adalah jantung dari apa yang biasa disebut sebagai pasar, tentu saja pasar yang aku maksud bukan seperti gambaran pasar tradisional tetapi pasar sebagai kepanjangan kapitalisme global. Di kota, di tiap sudutnya bahkan hampir tiap beberapa langkah perjalanan membawamu kita selalu disuguhi dengan iklan iklan disana–sini seolah menghipnotis alam bawah sadar kita untuk melakukan konsumsi tanpa henti, bukankah itu ironis? maksudku, apakah hidup hanya seputar konsumsi? kita bahkan berlomba–lomba untuk menjadi paling berbeda di dalam keseragaman yang dibuat oleh pasar. Selera musik, model pakaian, gaya rambut, gadget yang kita pakai, trend makanan kekinian bahkan standard kecantikan, segalanya ditentukan oleh pasar dengan atau tanpa kita sadari dan itulah titik awal mengapa kita selalu merasa terasing terhadap tubuh kita sendiri, pasar membuat kita seolah membutuhkan itu semua, membuat kita seolah merasa semua yang kita konsumsi adalah hasil dari keinginan natural kita padahal nyatanya setiap individu dibentuk oleh pasar melalui propaganda–propaganda.

Tentu saja aku tidak mau tertipu oleh segala jenis optimisme bahkan jika itu tentang runtuhnya peradaban yang menyokong Pasar dan Kota sebagai jantung utamanya yang membuat kita merasakan depresi menahun ini, aku bahkan tidak mampu membayangkan jalan keluar yang ditawarkan, Sosialisme, Komunisme, Anarkisme atau apapun isme–isme lain yang dirasa heroik untuk menumbangkan atau bahkan hanya untuk sekedar mengarahkan Peradaban ke arah yang lebih baik, aku tidak punya imajinasi tentangnya dan segalanya bagiku hanya kesia–siaan lain yang akan menemukan kuburan ideologisnya sendiri.

--

--